Being Generalist or Specialist?

Aku pernah berada dalam masa kebingungan setelah lulus kuliah. Pekerjaan apa yang ingin kugeluti seumur hidupku. Pekerjaan apa yang bisa membuatku jatuh cinta terus menerus, dan tentu saja menghasilkan uang. Opsi yang kupikirkan banyak, buanyak sekali. Ya, aku menyukai banyak hal. Menggemari banyak hal. Dan mudah penasaran dengan banyak hal. Tapi satu, aku juga mudah bosan. Kecenderungan itu membuatku sulit untuk membuat pilihan.

Aku berikan gambaran betapa gampangannya aku dalam menyukai sesuatu. Ketika aku selesai membaca buku yang menurutku bagus, aku langsung ingin menjadi penulis. Ketika aku menonton drama mengenai kehidupan jurnalis, aku pun ingin menjadi jurnalis. Ketika dramanya mengenai kehidupan dokter dan seputar rumah sakit, tiba-tiba aku ingin menjadi dokter. Begitupun dengan guru, jaksa, penyanyi, dll. Aku senang membantu teman yang profesinya berbeda denganku. Bukan semata-mata untuk meringankan bebannya, tapi karena aku memang tertarik dengan pekerjaannya. Aku membantu temanku, seorang guru untuk membuat media pembelajaran; membantu makeup artist memoles wajah dan menata rambut client-nya; membantu membuat design/poster; mengedit video; maupun menyelesaikan soal-soal fisika.

 

Jadi dengan semua kecenderungan itu, menurutmu mana yang kupilih? Generalis atau spesialis?

 

Jawabannya adalah spesialis. Aku ingin menjadi spesialis, meski aku tidak tahu di bidang apa, meski aku tidak sanggup menahan rasa ingin tahuku terhadap hal-hal lain. Aku selalu iri dengan temanku yang dikenal sebagai ahli dalam bidangnya. Talitha si desainer, Dado si UX Experience, Iwan si programmer, Ikvan fotografer, Vera guru fisika, dan sebagainya. Aku iri, tapi selalu terbata-bata untuk menuju kesana.

Seorang mentor (mantan bosku di kantor lama) pernah berkata bahwa "It's okay kok jadi seorang generalist". Tapi tidak, aku tetap ngotot ingin menjadi seorang spesialis. Dalam bayanganku, aku ingin menguasai semua skill dasar dari berbagai bidang pekerjaan dengan satu bidang yang aku sangat mahir dan kuasai. On the other words, aku ingin jadi spesialis sekaligus generalis. Wow, betapa serakahnya aku!

 

Tahun pertama setelah aku lulus, aku memutuskan menjadi generalis sampai aku menemukan satu yang klik banget dan menjadi spesialis. I take every chance, take any job in the different field, and observe more. Untuk pertama kalinya aku paham istilah-istilah dalam investasi. Apa itu saham, pialang, broker, margin, bagaimana prinsip kerjanya. Aku bekerja sekaligus belajar serta menggali minat. Aku berpindah kerja atau mengambil beberapa pekerjaan sekaligus, menjadi part timer. Mengajar, membantu memanagemen sampah, freelance-desainer (amatiran), menjadi asisten makeup, hingga menjadi asisten peneliti. Semua yang kulakukan demi "penasaran", atau bahasa gaulnya curiousity.

Jika diingat setahun ke belakang, rasanya aku benar-benar berlari, entah mengejar apa. Loncat dari sini ke sana, tidak mau melewatkan waktu satu hari pun. Dan lucunya, justru aku berhenti karena corona. Jika bukan karena pandemic, mungkin aku saat ini aku sudah loncat ke luar Jawa dan terdampar di pulau entah mana. (Let's talk about this, later.)

 

Pertanyaanya, apakah dalam waktu setahun cukup membuatku puas menjadi generalis? Apakah aku rela menanggalkan minatku yang banyak untuk satu bidang saja untuk menjadi seorang spesialis?

Jawabannya, tidak. Atau setidaknya belum. Dalam setahun ini aku belajar bahwa semakin banyak yang aku pelajari, semakin banyak pula hal lain yang ingin aku pelajari. Dari satu hal, berkorelasi dengan hal lain, dan begitu seterusnya.

 

Di titik ini, setelah aku dirumahkan hampir tiga bulan, aku sadar bahwa aku akan terus seperti ini. Aku harus berdamai dengan kecenderungan alamiah 'rasa penasaranku'. Aku akan menerima diriku sebagai seorang generalis, atau mungkin lebih tepatnya untuk kasusku saat ini adalah "Diri Tanpa Jati Diri".

Tapi bukan berarti aku tidak punya rencana, aku tidak punya cita-cita. Aku telah menemukan sedikit jawaban untuk mengcover kebutuhanku, sekaligus menjadikan itu sebagai profesiku. Hanya saja untuk sampai kesana jalannya rada membingungkan. Atau setidaknya aku belum tahu dari mana harus memulai atau sekadar belum berani. Haha

(Aku tidak akan menceritakan rencana atau cita-citaku. Tidak perlu tanya dan jangan paksa aku menjawab)

 

Oke, mungkin sampai sini kalian sudah bingung sebenarnya apa poin yang ingin aku bicarakan. Tidak ada. HAHAHA

Aku hanya ingin bercerita, siapa tahu ada yang punya kegalauan yang sama. Sedikit pesan dari aku yang sudah berpengalaman ini (yaelah pengalaman seujung kuku soang, songong) :

  1. Pelajari karakter dan sifat-sifat alamiahmu. Jangan mengacu pada zodiak, tarot, MBTI, maupun tes kepribadian ataupun ramalan lainnya. Bahayanya malah ada bias, sehingga kita cenderung melakukan apa yang kita percaya berdasarkan ramalan tersebut. Better for observasi diri kalian sendiri, lakukan research kecil-kecilan. Catat di buku atau manapun sebagai data, dan jangan lupa evaluasi secara berkala.
  2. Perlakukan dirimu sesuai dengan kecenderungan alamiahmu. Buat keputusan dengan mempertimbangan akan hal itu. Itulah cara self-love terbaik sejauh ini menurutku.
  3. Aku dan orang-orang diluar sana yang sering membuat vibes positif (ataupun negatif) yang sering didengarkan orang-orang, mereka punya kecenderungan sifat alamiah yang berbeda denganmu, kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berbeda. Jangan jadikan ceritaku dan mereka sebagai acuan atau bahkan perbandingan, kita punya garis start dan finish yang berbeda. Jadi berhenti membandingkan hal-hal yang tidak bisa dibandingkan. Fokus pada diri sendiri.

 

 

Sekian.

Salam Bingungan!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membebaskan Luka (Lama)

A Love Journey

Mengupas Insecurity