Mereka Bilang Bapakku Gila
Udara berhembus cukup kencang ketika aku sampai di
tempat ini. Sebuah tempat peristirahatan yang tidak pernah kudatangi sejak lima
tahun silam di hari pemakaman bapak. Pohon beringin yang telah tumbuh sebelum
aku lahir masih berdiri gagah di antara pohon-pohon kamboja yang sedang tidak
berbunga. Ya, tepat di bawah pohon itulah aku perlahan mengarahkan langkahku.
“Bapak, aku datang.” Bisikku di hadapan gundukan
tanah dengan papan kayu berukiran nama ‘Bhanu
Wijoyo bin Pramono’. Mataku terasa menghangat, menahan air mata.
Masih sangat jelas di ingatanku, sebuah memori ketika
aku berlari ketakutan lima tahun silam karena bapak yang tiba-tiba
berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Ibu menangis sambil mencoba menenangkan.
Beberapa tetangga datang ke rumah, sebagian mencoba menolong, dan yang lain
hanya menonton. Sedangkan aku, menyembunyikan ketakutanku dengan memeluk adikku
yang masih berusia lima tahun kala itu. Beberapa kyai didatangkan ke rumah
untuk mengobati bapak. Setiap malam dalam seminggu, selalu diadakan pengajian
dan wiridan di rumah untuk menghilangkan roh-roh jahat dalam rumah.
Kejadiannya berlangsung sangat cepat dan
membingungkan bagiku. Di bulan pertama semenjak kejadian itu, bapak menjadi banyak
melamun dan tidak merespon saat diajak bicara. Hanya tatapan kosong tanpa
anggukan, tanpa senyuman. Hanya kepada ibulah bapak menganggukan kepalanya dan
beberapa kali memberikan senyuman tipis.
Bulan kedua, bapak kembali berteriak-teriak dan
berlari-lari ketakutan karena melihat sebuah mayat tergeletak di tepi ranjang.
Di hari yang lain, bapak mengaku melihat seorang gadis gantung diri di depan
pintu rumah. Beberapa hari setelahnya, bapak kembali menemukan sebuah mayat
tergeletak di dalam bak air kamar mandi. Padahal setelah diperiksa, kami tidak
menemukan apapun.
Bulan berikutnya, bapak bertingkah seperti orang
idiot. Tatapan matanya sering berlari-lari ke kanan dan ke kiri, memandang aneh
segala apapun yang menimbulkan bebunyian. Bapak membenci hal-hal yang
menurutnya berisik. Pernah pada suatu siang, aku yang tengah menyuapi adikku
makan dikejutkan dengan tingkah bapak. Dari dalam kamar, bapak menghampiriku
dengan tatapan tajam. Bapak tiba-tiba mengambil piring dari tanganku dan
membantingnya sembari berteriak. Ya, bapak tidak suka suara gemeletuk piring
yang aku timbulkan. Baginya itu sangat mengganggu. Aku syok, adikku menangis,
dan ibuku datang menenangkan bapak. Sejak saat itu adikku dititipkan ke rumah
nenek, ibu khawatir menimbulkan trauma bagi adik.
Aku, hanya seorang remaja berusia 14 tahun yang sering
dipergunjingkan teman-temannya karena memiliki bapak yang gila. Aku tidak bisa
membela diri karena aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada yang
beranggapan bahwa bapak gila dan ada pula yang mengatakan bahwa bapak kerasukan
hantu penghuni pohon kelengkeng di samping kantor desa. Beberapa orang lain
mengatakan bahwa hantunya berasal dari kebun belakang rumah yang telah dialih
fungsikan sebagai lahan bercocok tanam bagi bapak setahun yang lalu. Dan
beberapa lainnya menyimpulkan bahwa bapak gila gara-gara kerasukan dan diikuti
hantu.
“Bu, emang benar ya bapak gila?” tanyaku suatu hari
kepada ibu.
“Enggak sayang, bapak cuma sakit.” Demikianlah yang ibu
katakan padaku. Aku berusaha puas dengan jawabannya dan bertahan dengan
ketidaktahuan mengenai kondisi bapak. Yang aku tahu bapak selalu rutin minum
obat setiap hari, entah untuk menyembuhkan apa. Yang aku tahu ibu selalu terjaga
sepanjang malam untuk menemani bapak yang jarang tidur.
“Ibu, bapak sakit apa bu?” tanyaku beberapa hari
setelahnya.
“Bapak sakit kepala. Kamu berdoa terus ya supaya
bapak cepat sembuh.” Hanya itu, ibu selalu memberikan jawaban yang tidak mampu
kusimpulkan.
Aku tahu bukan hanya aku yang takut dengan bapak yang
sekarang, adikku pasti jauh lebih takut. Aku pun tahu bukan hanya aku yang
sedih dengan kondisi keluargaku saat ini. Jauh dibandingkanku, masih ada ibu
yang sering kepergoki sedang diam-diam menangis di dapur. Entah karena kondisi
bapak atau mendengar omongan orang-orang mengenai bapak. Tidak peduli setidakberarti
apa ketakutan dan kesedihanku dibandingkan mereka, aku tetap saja tidak tahan
menanggung malu karena omongan teman-teman dan tetanggaku mengenai bapak
gilaku.
Dan kini, aku mulai membenci bapakku.
Perlahan namun pasti bapak mulai kembali seperti
semula. Dalam waktu enam bulan, bapak berhenti mengkonsumsi obat-obatan dan
beraktivitas normal. Berinteraksi dengan tetangga sekitar, dan kembali bekerja
di kantor desa. Semuanya kembali normal, ibu tidak pernah menangis lagi, tetangga
tidak lagi membahas masalah bapak, dan adik pun telah kembali ke rumah. Ya,
hampir semuanya normal. Kecuali aku.
Ketakutanku pada bapak hilang, namun tidak rasa
benciku. Bapak yang membuat aku menjadi bahan bullyan selama berbulan-bulan dan
membuatku mendapat julukan “anak orang gila” di sekolah. Bapak yang membuat
orang-orang menjauhiku, takut tertular gila. Bapak yang membuatku bahkan tidak
ingin lagi memanggilnya bapak.
“Kamu ada masalah apa sama bapak?” tanya ibu suatu
hari. Mungkin ibu menyadari apa yang terjadi padaku. Ibu menatapku tajam,
seperti menahan marah. Tentu saja aku tidak berani mengatakan bahwa aku benci
bapak, bahwa aku malu mempunyai bapak yang gila.
“Gak papa.” Kataku, mengalihkan pandangan dari ibu.
Berpura-pura merapikan buku-buku di dalam tas yang sebenarnya sudah rapi.
“Kamu gak boleh bersikap tak acuh seperti itu sama
bapakmu. Bapakmu bisa sakit hati sama kamu.” Ibu mengucapkan setiap kata dengan
penuh penekanan, meski dengan suara yang tetap lirih. Matanya masih tajam,
menyorotkan sebuah emosi yang membuatku tidak sanggup melihat kearahnya. Ya,
ibu benar-benar tampak marah.
‘Lalu bagaimana dengan
aku yang harus menanggung sakit hati dan malu selama berbulan-bulan gara-gara
bapak? Apa dia tahu? Apa dia peduli padaku?’. Kemarahan ibu tidak lantas
membuatku ingin mengubah sikapku, namun justru membuat hatiku bergejolak
semakin membenci bapak. Ya, gara-gara bapak kini ibu menjadi marah padaku.
“Iya bu.” Demikian jawaban yang terlontar dari
mulutku. Mendengar jawabanku, ibu kemudian pergi keluar dari kamarku.
Beberapa hari berselang, bapak membuat ulah. Dia
masuk rumah sakit gara-gara meminum pestisida di kebun belakang rumah. Aku
tidak tahu persis apa yang terjadi, kejadian tersebut berlangsung ketika aku
berada di sekolah. Apa mungkin kegilaan bapak kumat? Mana ada orang waras yang
secara sadar meminum pestisida, ya kan?
Aku sedih tentu saja. Bagaimanapun aku menyayanginya,
dia bapakku. Ya, meski aku pun malu mengakuinya.
Bapak dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi tidak
sadarkan diri dan mulut penuh dengan busa pestisida. Bapak dirawat di ruang ICU
selama sembilan hari. Di hari kesepuluh, bapak telah kembali ke rumah karena
harus disucikan dan dimakamkan. Ya, bapakku telah meninggal. racun yang dia minum
telah menyerang organ hati dan paru-paru bapak.
Aku menangis sewajarnya seperti halnya orang-orang
lain kehilangan orang tuanya. Bukan, bukan pura-pura. Aku benar-benar merasa
sedih. Meskipun sebenarnya aku telah merasa kehilangan sosok bapak sejak lama.
Namun kali ini aku benar-benar kehilangan bapak seutuhnya.
Aku mengikuti serangkaian upacara pemakaman bapak. Di
tempat ini aku melihat jenazah bapak perlahan ditutup dengan tanah basah hingga
membentuk gundukan. Gundukan tanah yang kini telah banyak ditumbuhi rumput liat
di atasnya. Lima tahun lalu, di tempat inilah tempat terakhir aku menangis
karena bapak. Dan kini air mata itu kembali menetes di tempat yang sama.
Aku, si anak durhaka. Anak yang selama hampir enam
tahun menyimpan kebencian kepada bapaknya. Anak yang baru mengetahui kebenaran
dari kondisi bapaknya setelah semua hal buruk yang menimpanya.
Ibu, seseorang yang sejak dulu tidak pernah
menceritakan kondisi bapak kepadaku. Seseorang yang menganggap bahwa anak
berusia 14 tahun adalah seorang anak kecil, yang mungkin tidak akan paham jika diceritakan
mengenai penyakit bapaknya. Seorang ibu yang baru membahas mengenai penyakit
bapak kepadaku setelah lima tahun kematian bapak. Seorang ibu yang tanpa sadar membiarkan
anaknya menyimpan kebencian begitu lama terhadap bapaknya.
Bapak, seorang kepala rumah tangga yang bertanggung
jawab bagi keluarganya. Seseorang yang rajin dan pemikir. Seseorang yang hingga
akhirnya menanggung beban yang berat dalam pikirannya.
Bapakku, Bapak yang bernasib malang.
“Bapakmu tidak gila, Dian. Selama lebih dari satu
tahun bapak menderita depresi.” Demikian yang ibu katakan padaku. “Semua salah
ibu. Jika dulu ibu memaksa bapak agar mau dirawat intensif di bawah pengawasan
psikiater, mungkin bapak masih akan bersama kita sekarang.”
Ya, ibu benar. Depresi bukan penyakit gila.
Setidaknya itulah yang guru sosiologiku katakan di kelas dua bulan lalu. Semua
perilaku bapak dulu, terangkum dalam website kesehatan yang aku buka pagi tadi.
Susah tidur, sering melamun, halusinasi, delusi, hingga percobaan bunuh diri. Selama
satu tahun bapak melewati fase-fase sulit itu dalam hidupnya. Dan yang
kulakukan hanya membencinya. Sungguh, anak macam apa aku ini.
“Bapak, maafkan Dian pak..” rintihku di atas pusara
bapak.
Tidak ada lagi yang ingin kulakukan selain meminta
maaf dan menangis. Setelah puas melakukannya, aku membersihkan makam bapak dari
rumput-rumput liar yang memenuhi permukaannya. Kemudian kulanjutkan dengan
mendoakan bapak yang selama lima tahun selalu absen dari doaku.
“Dian sayang bapak..” aku
mencium nisan bapak dan pamit pulang.
Komentar
Posting Komentar