INSECURITY #4 - Childhood's Trauma is Real
Jika
kupikir-pikir sekarang. Apa yang pernah kualami semasa kecil hingga remaja, itu
bukanlah suatu masalah yang besar. Aku hanya menerima ejekan dan dipandang
sebelah mata saja. Aku tidak pernah mengalami bullying parah hingga melibatkan
kekerasan fisik, atau aku dijauhi semua orang hingga aku tidak punya teman.
Selayaknya
anak-anak, bukankah mereka memang suka saling ejek?
---
Benar,
mereka hanyalah anak-anak.
Dan, aku
pun hanya anak-anak.
Selayaknya
anak-anak, aku belum mempunyai pengetahuan tentang memanage sakit hati. Aku
tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Yang kutahu hanyalah cara mengingat dan
melupakan. Jika ada sesuatu yang tidak ingin kuingat, aku hanya perlu berusaha
untuk melupakan (atau mungkin yang kulakukan hanya pura-pura melupakan sih. Ah,
entahlah).
Oh ya,
ada satu hal lagi yang harus dilakukan. Memaafkan.
Sejak
kecil, semua orang selalu mengatakan agar kita harus saling memaafkan.
Ya, dan
of course I do! Aku selalu berusaha untuk memaafkan semua orang yang pernah
menyakitiku. Aku selalu berusaha untuk meredam rasa marahku dan tidak membenci
mereka. Aku memaafkan mereka, baik mereka meminta maaf padaku atau pun tidak. Wow, baik sekali aku ternyata ya! Hahahaa..
Namun
meski sudah memaafkan, ternyata rasa sakit hati itu tidak serta merta hilang.
Sakit itu masih ada, dan semakin besar seiring dengan ejekan serupa yang
kuterima. Seperti yang kukatakan sebelumnya, bahwa aku tidak pernah benar-benar mengobatinya. Aku hanya
menyembunyikan sakit itu, berusaha untuk mengabaikan dan melupakannya.
Sakit
yang terabaikan itu, ternyata berdampak panjang. Dan secara tidak langsung
menyerang alam bawah sadarku. Mungkin ini yang dinamakan trauma masa kecil.
Ternyata trauma bukan hanya terjadi karena bencana ataupun kecelakaan. Trauma
bisa terjadi karena suatu kejadian yang menyakiti hati dan menyerang mental
kita.
Menurut
Dr. Jiemi Ardian dalam sebuah cuitan twitter-nya, trauma masa kecil menyebabkan
sistem alarm menjadi aktif, sehingga tubuh dan pikiran selalu waspada. Oleh
karena itu, trigger yang sederhana pun seakan menjadi signifikan hingga
menyakitkan.
Berikut
hasil googling-ku. Ternyata ada tiga tipe penyebab trauma masa kanak atau ACEs
(Adverse Childhood Experiences).
Dalam
kasusku, mungkin aku masuk ke dalam tipe abuse emotional dan neglect. Hinaan
dan penolakan-penolakan yang pernah kuterima akibat insecurity-ku, membuatku
selalu berpikir bahwa orang-orang lain pun akan memperlakukanku demikian.
Hidupku menjadi penuh dengan rasa takut dan waspada. Aku memasang benteng
tinggi untuk selalu bersiap-siap jika orang ingin menyerangku. Alih-alih tidak
sakit hati, nyatanya aku malah menjadi terlalu khawatir untuk mengeksplor
diriku. Aku takut masuk ke dalam cycle baru, aku takut bergabung dalam sebuah
kelompok baru, aku takut untuk mencoba hal-hal yang kuinginkan. Aku takut hanya
dengan memikirkan stigma orang-orang terhadapku. Meskipun mereka tidak pernah
mengatakan apapun padaku, seolah-olah aku merasa bahwa mereka memandang rendah
diriku.
Ya,
trauma memang demikian.
Dr. Jiemi mengatakan bahwa trauma membuat kita terus waspada.
Tubuh yang terus waspada ternyata bahaya, kita jadi sulit
merasa bahagia.
Untuk merasa bahagia, kita perlu belajar merasa aman saat ini,
di tempat kita berada di sini.
Mari edukasi diri kita agar kita lebih bahagia :))
Semoga kamu juga mampu menciptakan kebahagiaanmu sendiri!
---
[Post Script]
Childhood's Trauma yang aku klaim menimpaku, mungkin lebih populer saat ini disebut sebagai "Inner Child" (atau mungkin aku yang kurang tepat dalam menyebutkannya).
Inner Child adalah sisi kepribadian seseorang yang masih bereaksi dan terasa seperti anak kecil
Komentar
Posting Komentar