INSECURITY #1 - What Your Biggest Insecurity?
Sebuah cerita singkat tentang sisi gelap.
---
Bermula menemukan sayap kupu-kupu patah yang basah di tengah trotoar. Aku mengambil fotonya dan merasa terlalu sayang menyimpannya dalam galeri pribadiku. Bagiku, foto itu terlalu banyak bercerita.
Sayap yang indah, namun utuh patah. Berserak di tengah jalanan. Terguyur air hujan bekas semalam.
Foto itu terasa penuh luka, bagiku.
Dalam sebuah story di instagram, aku merepresentasikan gambar itu dalam sebuah duka dan lara terpendam. INSECURITY. Aku percaya semua orang memiliki lukanya tersendiri. Aku yakin semua orang memiliki sebuah nisan yang mungkin dia pendam sendirian, tempat dimana dia selalu berduka atasnya, sebuah hal yang menyakitkan dan selalu menyisakan duka.
Melalui postingan itu, sebenarnya aku ingin mengajak orang-orang untuk membebaskan dukanya. Melepaskan ketakutan akan hal-hal yang membuatnya tidak aman, tidak mampu percaya diri, dan terlalu lama berduka dalam nisan pribadinya.
Aku pun. Aku menantang diriku untuk melakukannya. Namun karena ternyata isi nisanku lebih banyak dari yang aku pikirkan, aku menulisnya dalam blog pribadiku.
***
So, what my biggest insecurity?
For me,
Punya tubuh pendek adalah my biggest insecurity.
Sebagai orang yang terlahir pendek, menerima judgement, bullying, body shaming, ledekan, hinaan, sudah sering kualami sedari kecil. Sekali, dua kali, mungkin tidak masalah. Namun itu terjadi berulang kali, dan datang dari banyak orang yang berbeda.
Efek jangka pendeknya.
Bagiku, aku sedih, aku malu.
Bagi mereka adalah hiburan karena bisa tertawa, atau mungkin kepuasan atas hasrat nyinyir mereka saja.
Efek jangka panjangnya.
Bagiku, aku benci dengan diriku sendiri.
Bagi mereka, tidak ada bukan?
(( Aku benci diriku sendiri ))
Ya. Kamu tidak salah membaca.
Menerima hinaan, cacian, dan disepelekan karena memiliki tubuh pendek, bukan hanya dari teman sebaya, tapi juga dari orang tua teman, tetangga, keluarga, dan lebih sering stranger.
Bagiku, kekurangan ini adalah sebuah musibah. Dia hanya penghambat. Dia adalah penyebab beberapa mimpi tidak dapat kuwujudkan. Aku ditolak, bukan karena kemampuanku tapi karena fisikku.
Sewaktu kelas 4 SD, anak-anak yang aktif dan cerdas dipilih untuk mengikuti perlombaan pramuka, Pesta Siaga. Ada 4 sampai 6 anak yang diikutsertakan. Dan coba tebak, aku bukan salah satunya!
Bagaimana mungkin aku tidak dipilih, sedangkan aku selalu minimal peringkat 3 di kelas. Aku juga cukup terampil dalam membuat prakarya, dan tidak kagok untuk melakukan gerakan. Bagaimana mungkin aku tidak diikutsertakan?
"Iya, Lana tu pintar sih, tapi dia itu pendek." Kata salah seorang guru, ketika temanku yang juga heran bertanya kepada beliau.
Itu adalah patah hati pertamaku!
Di lain kesempatan, seorang guru agama menunjukku untuk mengikuti lomba dakwah agama islam. Tentu saja aku senang, aku bangga karena dipercaya. Namun tidak, sampai beliau berkata, "Lana kan kecil, jadi kalo ceramah lucu. Biar kaya dai-dai cilik di TV." (Ya, saat itu sedang hits acara dai cilik Indonesia). Semua anak di kelas tertawa.
Kenapa dia tidak bilang saja bahwa dia percaya aku bisa tampil bagus. Kenapa harus menggunakan kekuranganku sebagai alasannya?
Aku marah. Aku menunjukkan sikap bahwa aku tidak mau ikut lomba. Aku berjanji pada diriku bahwa aku tidak akan berlatih. Aku janji tidak akan memberikan penampilan bagus seperti yang mereka harapkan.
Tiba saat latihan, aku dites di depan guruku yang lain. Beliau marah, beliau kecewa, karena aku tidak bersungguh-sungguh. Bahkan aku baru membaca materiku beberapa menit sebelum tampil.
'Ya, silakan saja marah. Kamu pikir aku gak marah?', umpatku dalam hati.
((Aku menulis ini dengan dada sesak, menahan tangis. Kejadian itu terjadi 15 tahun yang lalu, namun sakitnya masih nyata hingga sekarang))
Aku ingat, zaman kecil dulu, aku sayang banget dengan bapakku. Aku sering merindukannya, banyak bercanda dengan beliau. Sampai akhirnya aku belajar soal genetika, dan mendapat kesimpulan bahwa yang mewariskan gen pendek padaku adalah bapak.
Aku membencinya. Tidak benci secara langsung, bahkan aku tidak sadar melakukannya. Hanya saja aku menjadi berbeda dengan sendirinya. Aku menjadi cukup dingin kepadanya, tidak lagi suka bercanda dengannya, hingga sempat merasa malu punya Bapak seperti beliau.
(Ya, ternyata aku pernah menjadi monster yang jahat)
Saat SMP, teman-teman seusiaku mulai mempunyai pacar. Naksir ini, naksir itu. Salah seorang teman laki-lakiku waktu itu mengatakan, kalau saja aku lebih tinggi mungkin dia akan memacariku. Namun karena aku tidak punya hasrat pacaran maupun perasaan suka dengannya, aku biasa saja. Tapi ada satu hal yang ku-highlight sebagai kesimpulan, yaitu : "Dia suka aku, tapi gak jadi suka karena aku pendek. Pun besok-besok jika ada cowok yang tidak menyukaiku, itu karena aku pendek."
Jadi sekarang,
Salah siapa kalau aku gagal ikut perlombaan?
Salah siapa jika aku dipaksa harus mengubur mimpi-mimpiku?
Salah siapa kalau tidak ada orang yang menyukaiku?
Salah siapa kalau orang-orang meremehkanku?
Salah siapa kalo aku jadi bahan ledekan dan bulanan orang-orang?
Semua adalah salahku. Kesalahan diriku yang pendek.
Itu hanya beberapa contoh kejadian di masa lalu.
Sebagian dari yang aku ingat.
Sebagian kecil dari yang menimbulkan efek.
Sebagian sangat kecil dari yang aku terima.
Aku marah dengan orang-orang.
Aku marah dengan dunia, 'kenapa dia tidak adil?'
Aku marah dengan Allah, 'bukankah Dia Maha Segalanya, kenapa tidak Dia ciptakan aku seperti orang-orang normal lainnya?'
Aku marah dengan mereka semua.
Aku marah dan aku sedih.
Aku marah tapi tidak membenci mereka.
Aku tidak bisa membenci mereka.
Aku hanya membenci satu orang.
Yaitu diriku sendiri.
I'm crying while reading this, sorry if I become the one who hurt your feelings. Kalo pernah ngga sengaja ataupun sengaja melakukannya ya suuul. Keren youu bisa mengumpulkan keberanian untuk menuliskan ini. Uwuuu, miss yuuuu 🙆🙆
BalasHapusHuuu thankyouu mbaaak i ❤️❤️
Hapus