INSECURITY #2 - How I Live With My Hatred
Aku tidak pandai membenci.
Jika aku membenci orang-orang yang mengejekku, mungkin aku telah membenci semua orang yang pernah kutemui. Tentu saja aku tidak mau hidup sendiri dan bermusuhan dengan semua orang.
Jadi sebagai gantinya, aku cukup membenci satu orang, yaitu diriku sendiri.
Bertahun-tahun aku hidup dalam kebencian. Aku hidup bersama satu-satunya orang yang kubenci.
Bagaimana bisa aku tidak muak?
Seperti apa level benci paling tinggi?
Bukan marah-marah mengutukinya. Namun mengabaikannya, tidak menganggapnya ada.
Aku pun.
Aku benci diriku hingga aku tidak pernah mempedulikannya, yang kupedulikan hanyalah pendapat-pendapat dan kalimat-kalimat yang orang lain ucapkan padaku. Meskipun menyakitkan, tapi aku selalu lebih mempedulikan pendapat orang terhadapku, dibandingkan dengan rasa sakit hatiku sendiri.
Aku tidak menganggap bahwa aku memang memiliki kekurangan yang membuat orang-orang menghinaku. Bahwa diriku yang pendek itu masih hidup bersamaku hingga kini. Namun sialnya, sekeras apapun aku berusaha mengabaikannya, orang-orang terus saja mengingatkanku terhadap apa yang kubenci. Aku sedih, namun aku menolak bersedih. Aku ingin menangis, tapi aku tidak menangis. Aku coba mengalihkannya, menganggap kesedihan itu tidak nyata, menahan air mataku keluar.
Aku tidak menganggap bahwa aku memang memiliki kekurangan yang membuat orang-orang menghinaku. Bahwa diriku yang pendek itu masih hidup bersamaku hingga kini. Namun sialnya, sekeras apapun aku berusaha mengabaikannya, orang-orang terus saja mengingatkanku terhadap apa yang kubenci. Aku sedih, namun aku menolak bersedih. Aku ingin menangis, tapi aku tidak menangis. Aku coba mengalihkannya, menganggap kesedihan itu tidak nyata, menahan air mataku keluar.
Karena aku tidak sedih, aku biasa saja dengan apa yang mereka katakan.
Aku denial. Menyangkal perasaan-perasaan sedih, sakit, dan terluka.
---
Aku takut melangkah.
Aku takut memimpikan banyak hal.
Aku takut orang-orang tidak akan menerimaku.
Saat SMA, aku ingin menjadi pengurus OSIS. Aku sudah menyiapkan berkas-berkas lamaran, tapi tidak kukumpulkan. Aku tidak cukup percaya diri. Aku minder. Aku tidak siap untuk dipermalukan. Aku tidak siap ditolak karena alasan fisikku. Saat itu, dunia yang aku lihat adalah dunia yang menilai kualitas diri seseorang dari fisiknya. Berpostur badan bagus, tinggi, cantik, putih, bersih. Aku tidak memiliki satu pun diantaranya. Mereka tidak akan punya alasan untuk menerimaku.
Ya, selain terjebak hidup bersama orang yang kubenci selamanya, aku juga tumbuh menjadi seorang pengecut, tidak percaya diri, dan takut gagal. Poor me!
---
Orang-orang selalu punya objek untuk dijadikan bahan ledekan atau lelucon. Aku senang jika objek itu bukan aku. Aku ikut tertawa lepas bersama mereka. Ah, ternyata menertawakan orang lain semenyenangkan ini! Pantas saja orang-orang bahagia melakukan itu padaku.
Tanpa sadar, aku menjadi seperti mereka.
Aku menjadi seperti orang-orang yang membuatku marah dan skeptis terhadap dunia, orang-orang yang membuatku memupuk kebencian terhadap diriku sendiri, orang-orang yang membuatku seperti hidup di rumah hantu, penuh ketakutan dan kekhawatiran.
==========
Tulisan ini dibagi ke dalam empat seri artikel "About Insecurity" :
Komentar
Posting Komentar