Sebongkah Kenangan di FMIPA

Cerita pendek ini dibuat untuk diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen "PORSEMA", Fakultas MIPA, Universitas Negeri Semarang tahun 2017. Dan secara mengejutkan meraih juara pertama.

***

“Kamu tahu gak apa yang paling menyenangkan dari hujan?” tanyamu.
“Melihat tanaman-tanaman seolah mereka bahagia karena mandi hujan.” Kataku, setidaknya itu yang kubayangkan saat melihat hujan.
“Salah.” Jawabmu. Aku berpikir jawaban apa yang sebenarnya kamu inginkan.
“Hawa sejuk saat hujan turun?” aku melirikmu dan kamu menggeleng, seolah meremehkan jawabanku. Aku menyebutkan satu per satu hal-hal baik yang terpikirkan olehku tentang hujan.  “Aroma tanah yang tercium ketika hujan turun. Kenangan yang dibawa oleh hujan, kenangan sama mantan?” Jawaban terakhir membuatku melirik selidik terhadapmu, kamu tertawa.
“Bukanlah. Kamu tu kapan pintarnya sih?” gerutumu disela tawamu. Aku memandangmu, meminta jawaban.
“Yang paling menyenangkan dari hujan itu adalah terjebak disini berdua sama kamu.” Katamu pelan. Jawabanmu yang dulu membuatku ingin menggantung kepalamu, kini justru membuatku tersenyum rindu.
Sudah hampir tiga tahun sejak kita terjebak hujan disini, ditempat yang sama sekarang aku berdiri, Gedung D3 FMIPA Unnes. Setelah sekian lama aku kembali ke kampus ini. Bukan sengaja untuk mengenangmu, aku datang mengantarkan keponakanku yang tengah ujian SBMPTN. Meskipun tidak dapat kupungkiri, bahwa setiap sudut dari bangunan-bangunan di fakultas ini menyimpan puluhan cerita tentangmu. Aku menyusuri sepanjang lorong D3, mencuri kembali kenangan-kenangan kita dari gedung ini. Tempat kamu biasa bersandar hingga bosan ketika menungguku keluar kelas. Tempat aku, kamu, dan anak-anak lain mengobrol, tertawa keras hingga dosen yang sedang mengajar di dalam kelas marah-marah karena terganggu.
Ah, aku merindukanmu Rai. Sangat.
Aku memutuskan untuk berkeliling. Dimulai dengan menyusuri jalan setapak yang sering kita lalui menuju parkiran motor. Jalan setapak yang terasa sangat berbeda dari tiga tahun lalu. Kini jalan ini sudah rapi dipasang paving dan tentu saja, tidak ada kamu yang berjalan disampingku.
Aku melintasi lapangan parkir yang penuh dengan sepeda motor. Dalam kondisi parkiran seperti ini kamu pasti akan mengeluh karena kesulitan menemukan sepeda motormu.
“Andai motorku tu kaya kamu.” Katamu suatu hari.
“Kok kaya aku?” tanyaku, tidak paham.
“Iya, di keramaian kaya apapun, aku pasti bakal mudah nemuin kamu. Karena hati kita kan satu frekuensi, jadi hatiku beresonansinya pasti cuma sama kamu.” Jawabmu dengan gaya tengilmu yang khas. Hanya anak fisika mungkin yang paham gombalan semacam ini.
Ah Rai, kamu membuatku tersenyum lagi mengingatmu.
Masih sangat jelas dibayanganku, bagaimana kamu sering berlarian dari parkiran menuju jurusan karena punya janji untuk bimbingan dengan Bu Ambar, sedangkan kamu bangun kesiangan. Masih sangat lekat diingatanku, raut wajah panikmu yang tidak siap menerima semprotan dari dosen yang kamu sebut Your Lovely Momey Vampeer itu.
Aku menapaki jejak-jejak kenangan itu menuju gedung D7, melalui gedung yang dulu kukenal sebagai gedung dekanat. Beberapa orang mendahuluiku saat aku berjalan, tampak buruburu.
‘Pasti mau bimbingan’, batinku. Ya, jurusan memang tidak pernah sepi bahkan saat hari libur sekalipun. Aku memperhatikan anak yang tadi mendahuluiku, kini perlahan menaiki tangga D7. Belum sempat aku mengalihkan perhatian, tampak seseorang yang sangat familier bagiku berpapasan dengannya. Aku buru-buru menghampirinya, menunggunya turun dari tangga.
“Assalamualaikum Bu Ambar.” Aku mencium tangannya begitu Bu Ambar sampai di ujung anak tangga. Beliau masih sama persis dengan sosok pembimbingku dua tahun lalu. Bahkan parfum yang beliau kenakan, aku masih bisa mengenali baunya.
‘Here I am Rai, meet Your Lovely Momey Vampeer. Do you miss her?’. Aku tersenyum membayangkan jawaban apa yang akan kamu lontarkan. Atau apa yang akan kamu katakan kepada Bu Ambar jika kamu bertemu dengannya sekarang, bersamaku.
“Arleta ya?” Tanya Bu Ambar.
“Iya Bu.” Aku mengangguk dan tersenyum, senang beliau masih mengingatku.
“Sedang apa disini nduk?” Tanya Bu Ambar lagi. Aku menjelaskan bahwa aku mengantar keponakanku yang sedang ujian SBMPTN di gedung D3. Kemudian obrolan kami pun mengalir begitu saja. Kami bercerita satu sama lain mengenai pekerjaanku, keluh kesah Bu Ambar mengenai mahasiswa bimbingannya, cerita horror yang sedang ramai dibicarakan dosen di Jurusan, hingga pertanyaan beliau mengenai kapan aku menikah.
–Ya, beliau tidak membahas satu kata pun tentangmu Rai. Meskipun aku yakin beliau
masih mengingatmu dengan sangat jelas, mahasiswa terbadungnya.–
Obrolan cukup panjang ini, kami lakukan dengan masih berdiri di depan tangga D7. Hingga akhirnya beliau pamit untuk mengisi kelas di Laboratorium Pendidikan D9. Bahkan hingga sekarang, beliau tetap tidak rela mengosongkan jam kuliahnya meskipun hari libur. Yeah, of course
she was!
Aku kembali berjalan menuju lapangan parkir atas begitu Bu Ambar pergi. Tidak, sekarang sudah tidak ada lagi lapangan itu. Benar-benar MIPA tampak sangat berbeda dari sudut ini. Sebuah gedung megah berlantai tiga berdiri menggantikan posisi pohon-pohon besar yang dulu tumbuh disini. Lapangan basket favoritmu dulu pun kini sudah tak sama lagi dengan dulu Rai. Tampak lebih bagus, namun sayang sepertinya memiliki fungsi ganda sebagai tempat parkir mobil.
Dari sini aku bisa melihat gedung bersejarah itu. Tempat dimana seluruh kisah kita mulai terajut. Tempat dimana aku mulai mengenalmu dan kamu mengenalku. Tempat biasa kita nongkrong hingga lewat tengah malam, buat mantengin sikadu setiap pengisian KRS. Dan tempat yang menjadi saksi berakhirnya cerita kita, setidaknya dari sudut pandangku.
Hari itu Kamis, 29 Mei 2014 di gedung D9, Laboratorium Fisika. Cuaca mendung sore itu. Beberapa menit setelah aku berniat mengakhiri penjelajahanku di dunia maya, handphone-ku bergetar. Kalau bukan namamu yang muncul di layar handphone-ku, pasti akan kuabaikan. Aku sudah beberapa jam menunggu kabar darimu yang sedang perjalanan pulang.
Seolah baru kemarin aku mendengar isak tangis kakakmu dari handphone-ku. Isak tangis yang membuatku terduduk lemas karena berita kecelakaanmu.
Ah Rai, bahkan aku tidak bisa melihat jenazahmu kala itu. Hanya ukiran namamu di batu nisan yang bahkan aku tidak sanggup memandangnya. Raihan-ku telah pergi, tanpa pamit, dan aku merindukannya hingga detik ini. Setiap detil-detil yang diceritakan oleh setiap gedung di fakultas ini, aku merindukannya. Mereka menyimpan kenangan itu untuk kuambil hari ini.
“Tante Eta!” panggil Rena, keponakanku, sekembalinya aku di teras D3.
“Tante darimana?”
‘Mencuri kenangan Raihan di fakultas ini’, batinku. Tentu saja bukan itu yang kuucapkan.
“Jalan-jalan aja.” Kataku. “Gimana ujiannya?”
“Jangan dibahas Tan. Pulang aja yuk.” Ajak Rena muram, mungkin ujiannya kurang sukses. Kami pun melangkah pergi, meninggalkan setiap jengkal kenangan kita disini. Ya, biarkan mereka tetap disini. Menempel pada dinding-dinding gedung ini hingga mereka lapuk termakan lumut-lumut.
‘Selamat tinggal Rai, terima kasih telah hadir di hidupku dan meninggalkan sebongkah kenangan indah untukku.’
~Arleta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membebaskan Luka (Lama)

A Love Journey

Mengupas Insecurity