Pengorbanan Anak Pertama
Aku merasa memiliki imajinasi yang
tinggi sejak kecil. Hobiku adalah berkhayal. Kegiatan yang sering kulakukan
dalam mendukung hobiku adalah berbicara dengan bayanganku sendiri di depan
kaca. Berlagak menjadi tokoh dalam khayalanku, dalam sehari aku bisa menjadi tiga
sampai tujuh pribadi yang berbeda dalam sehari. Ya, tentu saja itu hanya
berlaku untukku di depan kaca, di dalam kamar, dan sendirian. Aku tidak siap disebut
aneh atau lebih parahnya lagi gila kalau ada orang yang mengetahui kebiasaanku,
termasuk orang tuaku.
Kupikir kelak aku akan
berkeinginan mendalami seni peran sebelum menyadari bahwa akar dari semua kebiasaan
aneh yang kulakukan adalah karena khayalanku. Aku masih menikmati kebiasaan itu
tanpa tahu ujungnya akan kemana, hingga akhirnya mulai muncul kegemaranku
membaca cerita fiksi. Cerita-cerita itu membawaku kedalam kekaguman bagaimana
penulis dengan sangat apik membuat kisah itu hidup dalam pikiranku. Bagaimana
penulis dapat membagikan khayalannya melalui susunan huruf-huruf yang
kupelajari sewaktu SD. Ya, mungkin disitulah awal mula cita-cita itu ada.
Seingatku, aku mencoba
memberanikan diri untuk mulai menulis setelah lulus SMA. Beberapa perlombaan
cerpen gratis aku ikuti. Iya, aku anaknya gratisan, kalau lombanya berbayar
langsung aku coret dari daftar, hahaha. Tapi nyatanya tidak satupun aku menang
atau bahkan masuk sepuluh besar. Ah, kupikir aku berbakat ☹ .
Ternyata tidak juga.
Selain cerpen, aku pun mencoba
menulis novel. Dalam waktu satu tahun jabang bayi novel itu pun lahir, lengkap
dengan sinopsis untuk dikirim ke penerbit. Untuk anak pertamaku itu kuberi nama,
“Pesan Cinta Burung Origami” atau agar mudah kupanggil PCBO. *Iya, gak
usah ngebatin. Aku memang halu orangnya -__- *
Yaa, meskipun hasilnya tidak sesuai ekspektasi awalku, namun untuk sebuah karya
pertama yang hampir tidak ingin kuselesaikan, hasilnya lumayan lah. Setidaknya
aku pernah membaca novel teenlit yang
‘menurutku’ jauh lebih ‘gak bagus’ dari karyaku. Jadi dengan indikator si novel
gak bagus itu, aku pede bisa tembus penerbit. Hehe. Aku gak muluk-muluk kok, buat
dapat royalti besar ataupun diterbitkan oleh penerbit yang wow. Yang terpenting
aku tahu kalau karyaku pantas dibukukan dan pantas untuk dibaca orang-orang.
Aku kembali disibukkan dengan
ujian masuk perguruan tinggi waktu itu, kemudian disusul dengan ospek dan
serangkaian kegiatan mahasiswa baru hingga akhirnya aku menelantarkan anak
pertamaku. Dia kukurung dalam folder yang sudah tidak pernah lagi kubuka.
Hingga suatu ketika, aku merasa perlu menginstal ulang si Birru hingga bersih
ke akar-akarnya (Birru itu
nama laptopku, yang warnanya merah. Iya, terserah aku dong mau kukasih nama
siapa). Sehingga aku
perlu memilah data-data penting untuk ku backup
ke drive. Of course, salah
satunya adalah anak tunggalku si PCBO.
Reinstal
pun berjalan
dengan lancar, Birru-ku seolah lahir kembali. Hari-hariku pun ikut terpengaruh
olehnya, aku menjadi lebih bahagia dibanding sebelumnya. Sekitar satu tahun
kemudian, aku kembali ingat dengan si bayi yang kutelantarkan begitu lama. Aku
pun membuka google drive-ku dan mencari folder yang kucari.
Kubuka pintu folder bertuliskan “PCBO” dengan rasa rindu bercampur haru. Ah,
aku merasa seolah benar-benar menjadi seorang ibu yang menjemput anaknya yang
hidup di pesantren bertahun-tahun lamanya. Rinduuu sekali..
‘Klik
klik’.
Apa ini? Ruangan itu kosong!
Aku mencoba mencari PCBO di ruang
folder yang lain. Sama!!
Bukan hanya PCBO, ternyata hampir
separuh data yang ku backup hanya
berisi folder kosong tanpa objek.
Huaaaaa.. bodoh sekali aku!
Aku panik, tapi tidak tahu harus
melakukan apa. Ingin menangis, tapi tidak ada air mata yang mampu keluar. Hanya
sesal dan duka yang membalut hari-hariku kemudian.
Tahun telah berlalu. Aku
mempersembahkan sebuah piala dan piagam penghargaan juara pertama menulis
cerpen (ya meskipun hanya tingkat
fakultas) untuk PCBO,
sebagai permohonan maafku. Kupersembahkan penghargaan itu untukmu anakku yang
terpenjara selama bertahun-tahun dan mati karena kebodohanku.
Hari ini, sudah lebih dari dua
tahun aku kehilangan anak pertamaku. Semoga akan mampu kulahirkan anak kedua,
ketiga, keempat, dan seterusnya tanpa terulang lagi kebodohan-kebodohan yang
telah lalu. Ya, tentu saja dengan bantuan Birru dan Qashwa (saudara perempuan Birru).
~Selamat tinggal Pesan Cinta Burung
Origami. Ibu menyayangimu.
*Setelah menulis ini aku memaki “goblok” kepada diriku sendiri
-dalam hati.*
Komentar
Posting Komentar